Jakarta, CNBC Indonesia – Mega proyek Kereta Cepat Jakarta Bandung tengah menjadi sorotan publik, setelah proyek tersebut rencananya akan mendapatkan kucuran dari kas keuangan negara.
Padahal, proyek tersebut sebelumnya dibangun dengan skema business to business (B to B). Keputusan pemerintah yang akhirnya turun tangan tak lepas dari ancaman pembengkakan biaya pengerjaan proyek, yang bisa berujung pada proyek yang akhirnya tak berjalan.
Namun, terlepas dari itu, Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI) berpendapat bahwa proyek tersebut penting dan krusial, terutama untuk sektor transportasi publik di Indonesia di masa depan.
“Saya kira penting sekali proyek ini diselesaikan karena sudah berjalan,” kata Sekretaris Jenderal MTI Harya Setyaka Dillon saat berbincang akhir pekan lalu.
Selain menjadi alternatif kepadatan rute di jalan tol, proyek Kereta Cepat Jakarta Bandung juga secara tidak langsung menangkap kebutuhan masyarakat di berpuluh-puluh tahun yang akan datang.
Memang, rute Jakarta Bandung dapat dilalui jalan tol dan kereta api. Namun, pertumbuhan penumpang setiap tahunnya dapat menjadi solusi dari kehadiran Kereta Cepat Jakarta Bandung.
“Dampak proyek ini pasti sangat panjang, dan nantinya dengan adanya kereta cepat, nanti konektivitas regional terbangun,” jelasnya.
Harya mengatakan dampak ekonomi kereta cepat memang tidak akan dirasakan dalam 5 tahun pertama masa operasional, melainkan 10 hingga 30 tahun ke depan.
“Akan terasa manfaatnya. Ini tidak jauh berbeda dengan jalan tol, bandara, pelabuhan. Saat baru diresmikan, pelabuhan mungkin baru dirasakan manfaatnya 15 tahun ke depan,” katanya.
Harya kemudian angkat bicara mengenai pembengkakan biaya proyek yang semula US$ 6,07 miliar menjadi US$ 8 miliar atau sekitar Rp 114,4 triliun.
Harya mengatakan, kondisi pandemi Covid-19 dalam dua tahun terakhir memang menempatkan pemerintah dan konsorsium kereta cepat pada posisi yang sulit.
“Sebagus-bagusnya perencanaan, Covid-19 itu ada di luar rencana yang paling baik sekalipun. Pertanyannya sekarang, proyek ini mau dimangkrakan atau dilanjutkan,” kata Harya.
Harya menegaskan situasi ini tidak hanya dialami Indonesia. Menurutnya, banyak pembangunan infrastruktur di negara lain yang juga terganggu karena pandemi Covid-19.
“Ini bukan hanya terjadi di Indonesia. Di negara lain juga mengalami dilema yang sama dan tidak ada satupun yang memilih untuk memangkrakan proyek. Kasus Covid sudah rendah, tapi jangan lupa ada dampaknya,” katanya.
Akademisi dari Universitas Parahyangan Andreas Wibowo menjelaskan, proyek transportasi publik memang dibutuhkan untuk memperlancar arus pergerakan manusia atau barang.
“Untuk itu dibutuhkan perencanaan yang matang karena transportasi publik dalam banyak kasus tidak lagi bersifat standalone dan terintegrasi dalam suatu jaringan transportasi,” jelasnya.
Menurutnya, ketersediaan transportasi publik seperti kereta cepat akan membawa dampak eksternalitas, misalnya dari sisi pengembangan wilayah, pertumbuhan ekonomi dan sosial.
“Dan sepanjang dampak positif lebih besar dari pada dampak negatifnya, kita bisa sebutkan proyek tersebut memang worth it untuk dilaksanakan,” tegasnya,
Namun, Andreas memberikan sejumlah catatan yang perlu diantisipasi. Misalnya, risiko lebih rendahnya penumpang dari prediksi yang bisa mengakibatkan keberlanjutan proyek yang terganggu dari sisi finansial.
“Mudah-mudahan risiko shortfall demand pada proyek ini tidak terjadi,” katanya.
Sumber : CNBC INDONESIA